Jumat, 05 Oktober 2012

Proses Terbentuknya Kerajaan Kediri dan Singasari


         Kerajaan Kediri dan Singasari berdiri di daerah Jawa Timur, namun keduakerajaan tersebut tidak pernah akur dalam perkembangannya. Cikal bakal terbentuknya Kediri dan Singasari dimulai dari kerajaan Mataram di Jawa Tengah yang didirikan oleh Raja Sanjaya yang juga sebagai pendiri Dinasti Sanjaya. Kerajaan Mataram memiliki dua Dinasti dalam perkembangannya, yaitu Dinasti Sanjaya (Hindu) dan Dinasti Syailendra (Budha). Kerajaan Mataram kemudian dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok dan membentuk Dinasti baru bernama Dinasti Isyana. Pada masa pemerintahan Airlangga Kerajaan Mataram di Jawa Timur dibagi menjadi dua, yaitu kerajaan Jenggala (Singasari) dan kerajaan Panjalu (Kediri). Namun, dalam perkembangan selanjutnya kedua kerajaan saling bersiteru untuk menduduki kekuasaan. Berikut ini merupakan cerita singkat mengenai terbentuknya kerajaan Kediri dan Singasari. 

1.    Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah

Pada abad ke-8 M, berkembang sebuah kerajaan Hindu bernama Mataram yang terletak di Jawa Tengah. Berita mengenai keberadaan kerajaan ini dapat terungkap dari sebuah prasasti yang ditemukan di Gunung Wukir, Desa Canggal di sebelah barat daya dari kota Magelang. Prasasti tersebut dikenal dengan sebutan prasasti Canggal. Menurut prasasti Canggal (732 M) disebutkan bahwa raja pertama yang memegang kekuasaan kerajaan Mataram adalah Raja Sanna dan kemudian digantikan oleh Raja Sanjaya sebagai pendiri kerajaan Mataram dan Dinasti Sanjaya dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (Raja Sanjaya Penguasa Kerajaan Mataram). Raja Sanjaya dikenal sebagai raja yang bijaksana, gagah berani, dan ahli kitab suci. Agama yang dianutnya adalah Hindu Siwa. Untuk menghormati Dewa Siwa, raja Sanjaya mendirikan sebuah banguna suci yang sisa-sisanya masih dapat dilihat di Gunung Wukir. Dia juga mendirikan sejumblah candi Hindu, seperti Candi Dieng dan Candi Gedong Songo di Ungaran, Jawa Tengah.

Setelah Sanjaya meninggal, tahta Mataram dipegang oleh puteranya bernama Rakai Panangkaran yang bergelar Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkarana. Keterangan mengenai raja ini terdapat dalam Prasasti Kalasan yang letaknya tidak jauh dari Candi Prambanan. Pada masa pemerintahannya, Rakai Panangkaran mendirikan bangunan suci untuk memuja Dewi Tara dan biara untuk para biksunya. Bangunan yang kini dikenal sebagai Candi Kalasan itu merupakan sebuah candi Budha. Diduga Rakai Panangkaran merupakan penganut agama Budha.

Setelah pemerintahan Rakai Panangkaran, Mataram pecah menjadi dua. Sebagian pemeluk agama Hindu dan sebagian pemeluk agama Budha. Syailendra Hindu berkuasa di pegunungan Dieng sedangkan Syailendra Budha berkuasa di Jawa Tengah Selatan. Sepeninggal  Rakai Panangkaran, Mataram diperintah oleh Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung. Mereka merupakan penguasa lemah, sehingga suplemasi pemerintahan pindah ke tangan  Dinasti Syailendra. Salah seorang raja dari Dinasti Syailendra bernama Samarotungga yang memiliki dua orang anak, yaitu Pramodhawardhani dan Balaputeradewa.

Ketika Rakai Pikatan naik tahta menggantikan Rakai Garung, dia berusaha menegakkan kembali wibawa dinastinya. Agar tidak terjadi pertumpahan darah, Rakai Pikatan menikahi Pramodhawardhani, puteri mahkota Samarotungga. Sementara itu putera Samarotungga, Balaputeradewa menyingkir ke Sumatera dan menjadi raja di Sriwijaya setelah gagal merebut kekuasaan Mataram. Pernikahan antara Rakai Pikatan dengan Pramodhawardhani tidak saja mampu menyatukan dua dinasti di Jawa, tetapi juga menyatukan pemeluk agama Hindu dan Budha yang ketika itu kedua agama ini saling bersinggungan. Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, beberapa bangunan Hindu-Budha didirikan, seperti Candi Borobudur, Candi Sewu, Candi Plaosan untuk agama Budha dan kompleks Candi Prambanan untuk agama Hindu.

Kekuasaan Mataram kemudian dipegang oleh Dinasti Sanjaya hingga abad ke-10 oleh Rakai Diah Balitung yang bergelar Rakai Watukara yang terjadi penyempurnaan dalam struktur birokrai pemerintahan Mataram dengan menambah tiga jabatan penting di bawah raja. Hingga pemerintahan Raja Wawa. Kerajaan Mataram mengalami masa surut ketika di bawah pemerintahan Syilendra, Mpu Sindok.
Raja-raja yang memerintah:
1.         Sanna
2.         Sanjaya
3.         Panangkaran
4.         Panunggalan
5.         Warak
6.        Garung
7.        Pikatan
8.        Kayuwangi
9.        Watuhumelang
10.    Dyah Balitung
11.    Daksa
12.    Tulodong
13.    Wawa
14.    Mpu Sindok

                            

2.    Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur

Pada masa pemerintahan Mpu Sindok pusat kerajaan Mataram di Jawa Tengah keudian dipindahkan ke Jawa Timur pada tahun 929, kemudian membentuk dinasti baru bernama Dinasti Isyana. Beberapa pendapat mengenai perpindahan kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, antra lain:
1.   Adanya bencana alam berupa gunung meletus yang merusak pusat kerajaan, mengingat banyak ditemukannya gunug berapi di Jawa Tengah.
2.      Menghindari serangan dari kerajaan Sriwijaya dalam bentuk balas dendam.
3.      Tidak memiliki pelabuhan laut sehingga sulit untuk berhubungan dengan dunia luar.
4.      Sering terjadi perebutan kekuasaan sehingga kewibawaan kerajaan berkurang.
Mpu Sindok naik tahta pemerintahan pada tahun 929, bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isyana Wikrama Dharma Tunggadewa setelah menikahi puteri Raja Wawa. Setelah Mpu Sindok wafat, tumpuk pemerintahan kerajaan Mataram dipegang oleh puterinya, Sri Isyanatunggawijaya yang menikah dengan Raja Lokapala dan melahirkan Makutawangsawardhana yang nantinya menggantikan ibunya memerintah di Watugaluh atau di Tomwlang. Makutawangsawardhana mempunyai seorang puteri yang bernama Gunapriya Dharmapatmi atau yang lebih dikenal dengan Mahendradatta yang dinikahi oleh pangeran Bali yang bernama Udayana dan melahirkan tiga orang putera bernama Airlangga, Marakanta, Anak Wungsu.

Selanjutnya pemerintahan kerajaan Mataram dipegang oleh Dharmawangsa bergelar Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa. Pada tahun 990, Raja Dharmawangsa mengirimkan pasukan untuk menyerbu Sriwijaya dan Semenanjung Malaya. Pasukan Dharmawangsa berhasil menduduki beberapa daerah pantai Sriwijaya dan memutuskan hubungan Sriwijaya dengan luar sehingga menjadi lemah, namun secara diam-diam Sriwijaya melakukan gerakan bawah tanah (Subversi) ke Jawa dan menghasut adipati (raja bawahan) yang kurang royal terhadap Dharmawangsa agar bersedia memberontak. Usaha tersebut termakan juga oleh seorang adipati bernama Wura Wari (dari daerah sekitar Banyumas sekarang) dengan seketika kerajaan Wurawari menyerang Mataram pada saat pesta pernikahan puteri Dharmawangsa dengan putera raja Bali yang bernama Airlangga. Pada saat itu Dharmawangsa terbunuh oleh serangan Wurawari dan seluruh keluarga kerajaan mengalami kehancuran (Pralaya). Hanya menantunya, Airlangga yang berhasil meloloskan diri ke hutan oleh beberapa pengikutnya yan setia, Narottama. Selama tiga tahun (1016-1019) Airlangga digembleng di hutan Wonogori.

Setelah keadaan menjadi lebih tenang, Airlangga dinobatkan oleh para pendeta sebagai raja Mataram yang baru dan bergelar Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa dan merubah nama Mataram menjadi Medang Kemulan. Selama pemerintahannya dia berhasil mengembalikan kewibawaan daerah yang pernah ditaklukan kerajaan Wurawari Wangker dan berhasil menyatukan kembali wilayah kerajaannya dengan pusat kerajaannya dipindahkan ke Kahuripan (1037). Airlangga juga mendorong perkembangan kesenian di kerajaannya. Pada tahun 1035, seorang pujangga bernama Mpu Kanwa menulis Kitab Arjunawiwaha yang sebenarnya berisis kisah pengembaraan Airlangga selama di hutan. Sebagai balas jasanya kepada pendeta yang membantunya selama di hutan, Airlangga membangun bangunan suci di daerah Pucangan. Airlangga sendiri mengundurkan diri sebagai pendeta dengan gelar Resi Gentayu. Airlangga memiliki beberapa orang anak, salah satunya bernama Sri Sanggramawijaya Dharmaprasadottunggadewi (puteri sulung Airlangga). Dialah yang dicalonkan menjadi pengganti Airlangga. Akan tetapi, dia tidak bersedia dan lebih memilih menjadi pendeta yang kemudian dikenal dengan nama Dewi Kilisuci sehingga mengakibatkanperebutan tahta diantara anak-anak Airlangga lainnya. Setelah puterinya mengundurkan diri dari hal-hal duniawi, akhirnya Airlangga mengutus Mpu Baradah untuk membagi kerajaan Medang Kemulan menjadi dua pada tahun 1041, yaitu:
1.    Jenggala (Singasari) ibu kotanya Kahuripan diperintah oleh Mapanji Garasakan
2.    Panjalu (Kediri) ibu kotanya Daha diperintah oleh Sri Samarawijaya.
Hal tersebut dimaksudkan agar kelak tidak terjadi perang saudara untuk berebut kekuasaan kerajaan Mataram. Namun, dalam perkembangan selanjutnya kerajaan Panjalu yang lebih terkenal dibandingkan kerajaan Jenggala.

Raja-raja yang memerintah:
1.     Mpu Sindok
2.     Sri Isyanatunggawijaya
3.     Makutawangsawardhana
4.    Dharmawangsa
5.    Airlangga




3.    Kerajaan Kediri

Perebutan kekuasaan antara Jenggala dan Panjalu berlangsung hingga tahun 1052. Semula Jenggala menang, namun Jenggala berhasil ditaklukan oleh Samarawijaya raja panjalu dengan demikian Panjalu berhak memegang kekuasaan pemerintahan.  Setelah itu kurang lebih setengah abad kedua kerajaan tersebut tidak disebut-sebut lagidalam sejarah. Namun pada tahun 1117 kerajaan Kediri mulai terdengar lagi namanya.

Wilayah kerajaan Panjalu yang lebih terkenal dengan sebutan Kediri berada di tepi sungai Brantas, Jawa Timur. Daerahnya subur dan aliran sungainya digunakan sebagai sarana transportasi. Wilayahnya semakin luas setelah Jenggala dapat dikuasai sehingga menjadikan Kediri sebagai kerajaan satu-satunya di Jawa Timur. Kerajaan Kediri pada awalnya diperintah oleh raja Sri Samarawijaya dan kemudian digantikan oleh Sri Bameswara bergelar Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara.

Dalam perkembangan selanjutnya kerajaan Kediri diperintah oleh Jayabaya bergelar Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabaya. Dibawah pemerintahan Jayabaya, Kediri mencapai puncak kejayaannya. Jayabaya dikenal sebagai raja yang besar dan bijaksana, dia juga dikenal sebagai ahli nujum (tenung) dan ramalan-ramalannya dikumpulkan dalam bentuk buku yang disebut Jangka Jayabaya. Setalah Jayabaya lengser tahta kerajaan dipegang oleh Sareswara, Sri Aryyeswara, dan Sri Gandra. Tidak banyak informasi mengenai raja-raja tersebut sehingga setelah pemerintahan Sri Gandra, kemudian tahta digantikan oleh Raja Kameswara dengan gelarnya Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikramawarata. Pada saat pemerintahan Kameswara, kerajaan Kediri perkembangan kesusastraan mencapai puncak kejayaannya. Berbagai sastra-sastra tersebut antara lain:
a.       Kitab Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh
b.      Kitab Smaradhana karya Mpu Dharmaja
c.       Kitab Samanasantaka karya MpuMonaguna
d.      Kitab Hariwangsa, Kiab Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh
e.       Kitab Wertasancaya, Kitab Lubdaka, Kitab Arjunawiwaha karya Mpu Tantular
f.       Kitab Kresnayana karya Mpu Triguna
Raja terakhir Kediri adalah Kertajaya. Raja yang terkenal dengan sebutan Dandang Gendis ini memberlakukan kebijakan yang sedikit berbeda, yaitu mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Kondisi tersebut membuat keadaan menjadi tegang dan banyak kaum Brahmana lari ke tumapel yang pada saat itu dikuasai oleh Ken Arok. Kemudian Kertajaya menyerang Tumapel guna memerangi kaum Brahmana dan Ken Arok. Dalam peperangan di daerah Ganter, raja Kertajaya mengalami kekalahan dan riwayat kerajaan Kediri pun tamat (1222).




Raja-raja yang memerintah:
1.     Sri Samarawijaya
2.     Sri Bameswara
3.     Jayabaya
4.    Sarweswara
5.    Sri Aryyeswara
6.    Sri Gandra
7.    Kameswara
8.    Kartajaya



4.    Kerajaan Singasari

Kerajaan Singasari didirikan oleh Ken Arok. Menurut Kitab Pararaton, Ken Arok adalah titisan Dewa Brahma yang lahir dari seorang wanita tani bernama Ken Endok dari desa Pangkur di seelah timur Gunung Kawi. Konon pada saat dilahirkan tubuhnya bersinar yang menandakan dia akan menjadi raja besar di Jawa. Namun ketika mulai dewasa, dia hidup sebagai pencuri yang luar biasa saktinya. Berkat bimbingan pendeta Lohgawe, Ken Arok bersedia mengabdikan dirinya kepada Tunggul Ametung, akuwu (bupati) di Tumapel. Ken Arok yang berambisi untuk menjadi akuwu Tumapel merancang strategi pembunuhan terhadap Tunggul Ametung dengan meminta suatu senjata yang amat sangat sakti kepada seorang ahli pandai besi yang bernama Mpu Gandring, yang lebih dikenal dengan nama Keris Mpu Gandring yang kemudian harinya akan membunuh tujuh keturunan Ken Arok. Dengan segala tipu muslihat akhirnya Ken Arok berhasil membunuh Tunggul Ametung dan menikahi Ken Dedes, Istri dari Tunggul Ametung yang pada saat itu telah mengandung. Ken Arok belum puas hanya menjadi akuwu, dia ingin menguasai seluruh pulau Jawa maka dia harus mengalahkan Kediri. Pada tahun 1222 datanglah beberapa pendeta dari Kediri untuk meminta perlindungan kepada Ken Arok karena tindakan yang sewenang-wenang dari Raja Kertajaya. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Ken Arok, dia mengirimkan pasukannya untuk menghadapi serangan dari Kediri. Para pasukan Kediri dapat dikalahkan dengan seketika dalam pertempuran di Ganter dan pemimpin Kediri yaitu Kertajaya gugur dalam pertempuran. Tewasnya Kertajaya mengakhiri riwayat kerajaan Kediri dan kekuasaan diambil alih oleh Ken Arok.

Setelah itu Ken Arok mendirikan kerajaan Singasari dan mengangkat dirinya sebagai raja pertama dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Sinagasari menandai munculnya suatu dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa. Pada masa pemerintahan Ken Arok, seluruh wilayah bekas kerajaan kediri disatukan kembali. Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun (1222-1227) pada tahun 1227 Ken Arok dibunuh oleh pesuruh Anusapati (anak dari Ken Dedes dan Tunggul Ametung) yang membalaskan kematian ayahnya dan lalu merampas keris Mpu Gandring dari tangan Ken Arok. Akhirnya Ken Arok tewas  dan dimkamkan di Kegenengan dalam bangunan Siwa-Budha.

Dengan meninggalnya Ken Arok, tahta kerajaan Singasari jatuh ke tangan Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahan yang lama (1227-1248), Anusapati tidak banyak melakukan pembaharuan-pembaharuan karena larut dengan kesenangan menyabung ayam. Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjoyo, putera dari Ken Arok dan Ken Umang. Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati gemar menyabung ayam, sehingga diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa (tempat kediaman Tohjoyo) untuk mengadakan pesta sabung ayam. Pada saat Anusapati sedang asik menyaksikan aduan ayam, secara tiba-tiba Tohjoyo merebut kris Mpu Gandring yang dibawanya langsung dan langsung menusuk Anusapati. Dengan demikian meninggallah Anusapati dan dimakamkan di Candi Kidal.

Setelah kematian Anusapati tahta kerajaan Singasari akhirnya jatuh ke tangan Tohjoyo. Namun, Tohjoyo memerintah hanya beberapa buan saja sebab putera  dari Anusapati yang bernama Ranggawuni berusaha membalas kematian ayahnya. Dengan bantuan Mahesa Cempaka (anak dari Mahesa Wonggateleng dan cucu dari  Ken Arok) dan para pengikutnya, Ranggawuni berhasil menggulingkan Tohjoyo dan kemudian menduduki singgasana Singasari pada tahun 1248 dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardana dan Mahesa Cempaka diberi kedudukan sebagai ratu Angabhaya, yaitu pejabat tinggi yang bertugas menanggulangi bahayayang mengancam kerajaan dengan gelar Narasinghamurti. Pemerintahan Ranggawuni membawa kesejahteraan rakyat Singasari. Ranggawuni meninggal pada tahun1268, tidak lama kemudian Mahesa Cempaka mangkat dari jabatannya. Mahesa Cempaka mempunyai seoranga anak bernama Lebu Tal. Lembu Tal mempunyai seorang ana bernama  Wijaya  yang nanatinya mendirikan kerajaan Majapahit.

Sepeninggal Ranggawuni, tahta kerajaan jatuh ke tangan Kertanegara dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kartanegara. Pada masa pemerintahannya, kerajaan Singasari mencapai puncak kejayaan. Kertanegara terkenal dengan gagasannya yang ingin menyatukan seluruh kerajaan-kerajaan di Nusantara di bawah payung kekuasaan Singasari. cita-cita ini dikenal dengan Wawasan Nusantara I. Untuk melaksanakan cita-citanya, Kertanegara mengganti pejabat-pejabat yang kolot dengan yang baru. Setelah Jawa diselesaikan, kemudian Kertanegara melakukan perluasan daerah hingga keluar Jawa dan hubungan dengan luar negeri. Pengiriman ekspedisi ke Sumatera yang dikenal dengan ekspedisi Pamalayu 1275. Daerah-daerah yang dapat ditaklukannya adalah kerajaan Melayu, Bali, Sunda, Pahang, Bakulapura (Kalimantan Barat daya), Gurun (Maluku). Dengan politik perluasan daerah yang dicanangkan Raja Kertanegara, banyak tentara yang dikirim keluar daerah. Pada kondisi tersebut suasana kerajaan Singasari menjadi kurang penjagaan dan mengakibatkan datangnya serangan dari  Raja Jayakatwang (Kediri). Serangan Jayakatwang dilancarkan melalui dua arah, yakni dari arah utara sebagai pancingan dan dari arah selatan merupakan pasukan inti. Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh Jayakatwang dan berhasil langsung masuk istana lalu menemukan Kertanegarayang sedang berpesta pora dengan para pembesar istana. Kertanegara dan pembesar-pembesar istanapun tewas dalam serangan tersebut. Namun, Raden Wijaya berhasil menyelamatkan diri dan mendapatkan perlindungan dan bantuan dari kepala desa Kudadu yang selanjutnya menyebrang menuju Madura minta perlindungan dan bantuan kepada Aria Wiaraja (Bupati Sumenep). Berkat bantuan Aria Wiaraja, Raden Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdikan dirinya kepada Jayakatwang. Raden Wijaya diberi sebidang tanah yang bernama Tanah Tarik oleh Jayakatwang yang kemudian nanti tempat berdirinya Majapahit.

Dengan gugurnya Kertanegara maka kerajaan Singasari dikuasai oleh Jayakatwang dan menandai berakhirnya kerajaan Singasari. Kertanegara dimakamkan sebagai Siwa-Budha (Bairawa) di Candi Singasari.

Raja-raja yang memerintah:

  1. Ken Arok
  2. Anusapati
  3. Tohjoyo
  4. Ranggawuni
  5. Kertanegara