Kerajaan
Kediri dan Singasari berdiri di daerah Jawa Timur, namun keduakerajaan tersebut
tidak pernah akur dalam perkembangannya. Cikal bakal terbentuknya Kediri dan
Singasari dimulai dari kerajaan Mataram di Jawa Tengah yang didirikan oleh Raja
Sanjaya yang juga sebagai pendiri Dinasti Sanjaya. Kerajaan Mataram memiliki
dua Dinasti dalam perkembangannya, yaitu Dinasti Sanjaya (Hindu) dan Dinasti
Syailendra (Budha). Kerajaan Mataram kemudian dipindahkan ke Jawa Timur oleh
Mpu Sindok dan membentuk Dinasti baru bernama Dinasti Isyana. Pada masa
pemerintahan Airlangga Kerajaan Mataram di Jawa Timur dibagi menjadi dua, yaitu
kerajaan Jenggala (Singasari) dan kerajaan Panjalu (Kediri). Namun, dalam
perkembangan selanjutnya kedua kerajaan saling bersiteru untuk menduduki
kekuasaan. Berikut ini merupakan cerita singkat mengenai terbentuknya kerajaan
Kediri dan Singasari.
1.
Kerajaan
Mataram Kuno di Jawa Tengah
Pada
abad ke-8 M, berkembang sebuah kerajaan Hindu bernama Mataram yang terletak di
Jawa Tengah. Berita mengenai keberadaan kerajaan ini dapat terungkap dari
sebuah prasasti yang ditemukan di Gunung Wukir, Desa Canggal di sebelah barat
daya dari kota Magelang. Prasasti tersebut dikenal dengan sebutan prasasti
Canggal. Menurut prasasti Canggal (732 M) disebutkan bahwa raja pertama yang
memegang kekuasaan kerajaan Mataram adalah Raja
Sanna dan kemudian digantikan oleh Raja
Sanjaya sebagai pendiri kerajaan Mataram dan Dinasti Sanjaya dengan gelar Rakai
Mataram Sang Ratu Sanjaya (Raja Sanjaya Penguasa Kerajaan Mataram). Raja
Sanjaya dikenal sebagai raja yang bijaksana, gagah berani, dan ahli kitab suci.
Agama yang dianutnya adalah Hindu Siwa. Untuk menghormati Dewa Siwa, raja
Sanjaya mendirikan sebuah banguna suci yang sisa-sisanya masih dapat dilihat di
Gunung Wukir. Dia juga mendirikan sejumblah candi Hindu, seperti Candi Dieng
dan Candi Gedong Songo di Ungaran, Jawa Tengah.
Setelah
Sanjaya meninggal, tahta Mataram dipegang oleh puteranya bernama Rakai Panangkaran yang bergelar Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai
Panangkarana. Keterangan mengenai raja ini terdapat dalam Prasasti Kalasan
yang letaknya tidak jauh dari Candi Prambanan. Pada masa pemerintahannya, Rakai
Panangkaran mendirikan bangunan suci untuk memuja Dewi Tara dan biara untuk
para biksunya. Bangunan yang kini dikenal sebagai Candi Kalasan itu merupakan
sebuah candi Budha. Diduga Rakai Panangkaran merupakan penganut agama Budha.
Setelah
pemerintahan Rakai Panangkaran, Mataram pecah menjadi dua. Sebagian pemeluk
agama Hindu dan sebagian pemeluk agama Budha. Syailendra Hindu berkuasa di
pegunungan Dieng sedangkan Syailendra Budha berkuasa di Jawa Tengah Selatan. Sepeninggal
Rakai Panangkaran, Mataram diperintah
oleh Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung. Mereka merupakan penguasa lemah, sehingga suplemasi
pemerintahan pindah ke tangan Dinasti Syailendra. Salah seorang raja
dari Dinasti Syailendra bernama Samarotungga
yang memiliki dua orang anak, yaitu Pramodhawardhani
dan Balaputeradewa.
Ketika
Rakai Pikatan naik tahta menggantikan
Rakai Garung, dia berusaha menegakkan kembali wibawa dinastinya. Agar tidak
terjadi pertumpahan darah, Rakai Pikatan menikahi Pramodhawardhani, puteri
mahkota Samarotungga. Sementara itu putera Samarotungga, Balaputeradewa
menyingkir ke Sumatera dan menjadi raja di Sriwijaya setelah gagal merebut
kekuasaan Mataram. Pernikahan antara Rakai Pikatan dengan Pramodhawardhani
tidak saja mampu menyatukan dua dinasti di Jawa, tetapi juga menyatukan pemeluk
agama Hindu dan Budha yang ketika itu kedua agama ini saling bersinggungan.
Pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, beberapa bangunan Hindu-Budha didirikan,
seperti Candi Borobudur, Candi Sewu, Candi Plaosan untuk agama Budha dan
kompleks Candi Prambanan untuk agama Hindu.
Kekuasaan
Mataram kemudian dipegang oleh Dinasti Sanjaya hingga abad ke-10 oleh Rakai Diah Balitung yang bergelar Rakai Watukara yang terjadi
penyempurnaan dalam struktur birokrai pemerintahan Mataram dengan menambah tiga
jabatan penting di bawah raja. Hingga pemerintahan Raja Wawa. Kerajaan Mataram mengalami masa surut ketika di bawah pemerintahan
Syilendra, Mpu Sindok.
Raja-raja
yang memerintah:
1.
Sanna
2.
Sanjaya
3.
Panangkaran
4.
Panunggalan
5.
Warak
6.
Garung
7.
Pikatan
8.
Kayuwangi
9.
Watuhumelang
10. Dyah
Balitung
11. Daksa
12. Tulodong
13. Wawa
14. Mpu
Sindok
2.
Kerajaan
Mataram Kuno di Jawa Timur
Pada
masa pemerintahan Mpu Sindok pusat
kerajaan Mataram di Jawa Tengah keudian dipindahkan ke Jawa Timur pada tahun
929, kemudian membentuk dinasti baru bernama Dinasti Isyana. Beberapa pendapat mengenai perpindahan kerajaan
Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, antra lain:
1. Adanya
bencana alam berupa gunung meletus yang merusak pusat kerajaan, mengingat
banyak ditemukannya gunug berapi di Jawa Tengah.
2. Menghindari
serangan dari kerajaan Sriwijaya dalam bentuk balas dendam.
3. Tidak
memiliki pelabuhan laut sehingga sulit untuk berhubungan dengan dunia luar.
4.
Sering terjadi perebutan kekuasaan
sehingga kewibawaan kerajaan berkurang.
Mpu
Sindok naik tahta pemerintahan pada tahun 929, bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isyana Wikrama Dharma Tunggadewa
setelah menikahi puteri Raja Wawa. Setelah Mpu Sindok wafat, tumpuk
pemerintahan kerajaan Mataram dipegang oleh puterinya, Sri Isyanatunggawijaya yang menikah dengan Raja Lokapala dan melahirkan Makutawangsawardhana
yang nantinya menggantikan ibunya memerintah di Watugaluh atau di Tomwlang.
Makutawangsawardhana mempunyai seorang puteri yang bernama Gunapriya Dharmapatmi atau yang lebih dikenal dengan Mahendradatta yang dinikahi oleh
pangeran Bali yang bernama Udayana dan
melahirkan tiga orang putera bernama Airlangga,
Marakanta, Anak Wungsu.
Selanjutnya
pemerintahan kerajaan Mataram dipegang oleh Dharmawangsa bergelar Sri
Dharmawangsa Teguh Anantawikramatunggadewa. Pada tahun 990, Raja
Dharmawangsa mengirimkan pasukan untuk menyerbu Sriwijaya dan Semenanjung
Malaya. Pasukan Dharmawangsa berhasil menduduki beberapa daerah pantai
Sriwijaya dan memutuskan hubungan Sriwijaya dengan luar sehingga menjadi lemah,
namun secara diam-diam Sriwijaya melakukan gerakan bawah tanah (Subversi) ke Jawa dan menghasut adipati
(raja bawahan) yang kurang royal terhadap Dharmawangsa agar bersedia
memberontak. Usaha tersebut termakan juga oleh seorang adipati bernama Wura Wari (dari daerah sekitar Banyumas
sekarang) dengan seketika kerajaan Wurawari menyerang Mataram pada saat pesta
pernikahan puteri Dharmawangsa dengan putera raja Bali yang bernama Airlangga.
Pada saat itu Dharmawangsa terbunuh oleh serangan Wurawari dan seluruh keluarga
kerajaan mengalami kehancuran (Pralaya).
Hanya menantunya, Airlangga yang berhasil meloloskan diri ke hutan oleh
beberapa pengikutnya yan setia, Narottama.
Selama tiga tahun (1016-1019) Airlangga digembleng di hutan Wonogori.
Setelah
keadaan menjadi lebih tenang, Airlangga dinobatkan oleh para pendeta sebagai
raja Mataram yang baru dan bergelar Sri
Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga
Anantawikramottunggadewa dan merubah nama Mataram menjadi Medang Kemulan.
Selama pemerintahannya dia berhasil mengembalikan kewibawaan daerah yang pernah
ditaklukan kerajaan Wurawari Wangker dan berhasil menyatukan kembali wilayah
kerajaannya dengan pusat kerajaannya dipindahkan ke Kahuripan (1037). Airlangga
juga mendorong perkembangan kesenian di kerajaannya. Pada tahun 1035, seorang
pujangga bernama Mpu Kanwa menulis
Kitab Arjunawiwaha yang sebenarnya berisis kisah pengembaraan Airlangga selama
di hutan. Sebagai balas jasanya kepada pendeta yang membantunya selama di
hutan, Airlangga membangun bangunan suci di daerah Pucangan. Airlangga sendiri
mengundurkan diri sebagai pendeta dengan gelar Resi Gentayu. Airlangga memiliki beberapa orang anak, salah satunya
bernama Sri Sanggramawijaya
Dharmaprasadottunggadewi (puteri sulung Airlangga). Dialah yang dicalonkan
menjadi pengganti Airlangga. Akan tetapi, dia tidak bersedia dan lebih memilih
menjadi pendeta yang kemudian dikenal dengan nama Dewi Kilisuci sehingga
mengakibatkanperebutan tahta diantara anak-anak Airlangga lainnya. Setelah
puterinya mengundurkan diri dari hal-hal duniawi, akhirnya Airlangga mengutus Mpu Baradah untuk membagi kerajaan Medang
Kemulan menjadi dua pada tahun 1041, yaitu:
1. Jenggala (Singasari) ibu
kotanya Kahuripan diperintah oleh Mapanji Garasakan
2. Panjalu (Kediri) ibu
kotanya Daha diperintah oleh Sri Samarawijaya.
Hal
tersebut dimaksudkan agar kelak tidak terjadi perang saudara untuk berebut
kekuasaan kerajaan Mataram. Namun, dalam perkembangan selanjutnya kerajaan
Panjalu yang lebih terkenal dibandingkan kerajaan Jenggala.
Raja-raja
yang memerintah:
1. Mpu
Sindok
2. Sri
Isyanatunggawijaya
3. Makutawangsawardhana
4. Dharmawangsa
5. Airlangga
3.
Kerajaan
Kediri
Perebutan
kekuasaan antara Jenggala dan Panjalu berlangsung hingga tahun 1052. Semula
Jenggala menang, namun Jenggala berhasil ditaklukan oleh Samarawijaya raja
panjalu dengan demikian Panjalu berhak memegang kekuasaan pemerintahan. Setelah itu kurang lebih setengah abad kedua
kerajaan tersebut tidak disebut-sebut lagidalam sejarah. Namun pada tahun 1117
kerajaan Kediri mulai terdengar lagi namanya.
Wilayah
kerajaan Panjalu yang lebih terkenal dengan sebutan Kediri berada di tepi sungai
Brantas, Jawa Timur. Daerahnya subur dan aliran sungainya digunakan sebagai
sarana transportasi. Wilayahnya semakin luas setelah Jenggala dapat dikuasai
sehingga menjadikan Kediri sebagai kerajaan satu-satunya di Jawa Timur.
Kerajaan Kediri pada awalnya diperintah oleh raja Sri Samarawijaya dan kemudian digantikan oleh Sri Bameswara bergelar Sri
Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara.
Dalam
perkembangan selanjutnya kerajaan Kediri diperintah oleh Jayabaya bergelar Sri Maharaja
Sang Mapanji Jayabaya. Dibawah pemerintahan Jayabaya, Kediri mencapai
puncak kejayaannya. Jayabaya dikenal sebagai raja yang besar dan bijaksana, dia
juga dikenal sebagai ahli nujum (tenung) dan ramalan-ramalannya dikumpulkan
dalam bentuk buku yang disebut Jangka
Jayabaya. Setalah Jayabaya lengser tahta kerajaan dipegang oleh Sareswara, Sri Aryyeswara, dan Sri Gandra.
Tidak banyak informasi mengenai raja-raja tersebut sehingga setelah pemerintahan
Sri Gandra, kemudian tahta digantikan oleh Raja
Kameswara dengan gelarnya Sri Maharaja Sri
Kameswara Triwikramawarata. Pada saat pemerintahan Kameswara, kerajaan
Kediri perkembangan kesusastraan mencapai puncak kejayaannya. Berbagai
sastra-sastra tersebut antara lain:
a. Kitab Bharatayudha
karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh
b. Kitab Smaradhana
karya Mpu Dharmaja
c. Kitab Samanasantaka karya
MpuMonaguna
d. Kitab Hariwangsa, Kiab Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh
e. Kitab Wertasancaya, Kitab Lubdaka,
Kitab Arjunawiwaha karya Mpu Tantular
f. Kitab Kresnayana karya
Mpu Triguna
Raja
terakhir Kediri adalah Kertajaya. Raja
yang terkenal dengan sebutan Dandang
Gendis ini memberlakukan kebijakan yang sedikit berbeda, yaitu mengurangi
hak-hak kaum Brahmana. Kondisi tersebut membuat keadaan menjadi tegang dan
banyak kaum Brahmana lari ke tumapel yang pada saat itu dikuasai oleh Ken Arok.
Kemudian Kertajaya menyerang Tumapel guna memerangi kaum Brahmana dan Ken Arok.
Dalam peperangan di daerah Ganter, raja Kertajaya mengalami kekalahan dan
riwayat kerajaan Kediri pun tamat (1222).
Raja-raja
yang memerintah:
1. Sri
Samarawijaya
2. Sri
Bameswara
3. Jayabaya
4. Sarweswara
5. Sri
Aryyeswara
6. Sri
Gandra
7. Kameswara
8. Kartajaya
4.
Kerajaan
Singasari
Kerajaan Singasari didirikan
oleh Ken Arok. Menurut Kitab Pararaton, Ken Arok adalah titisan
Dewa Brahma yang lahir dari seorang wanita tani bernama Ken Endok dari desa Pangkur di seelah timur Gunung Kawi. Konon pada
saat dilahirkan tubuhnya bersinar yang menandakan dia akan menjadi raja besar
di Jawa. Namun ketika mulai dewasa, dia hidup sebagai pencuri yang luar biasa
saktinya. Berkat bimbingan pendeta Lohgawe,
Ken Arok bersedia mengabdikan dirinya kepada Tunggul Ametung, akuwu (bupati)
di Tumapel. Ken Arok yang berambisi untuk menjadi akuwu Tumapel merancang
strategi pembunuhan terhadap Tunggul Ametung dengan meminta suatu senjata yang
amat sangat sakti kepada seorang ahli pandai besi yang bernama Mpu Gandring, yang lebih dikenal dengan
nama Keris Mpu Gandring yang kemudian
harinya akan membunuh tujuh keturunan Ken Arok. Dengan segala tipu muslihat
akhirnya Ken Arok berhasil membunuh Tunggul Ametung dan menikahi Ken Dedes, Istri dari Tunggul Ametung
yang pada saat itu telah mengandung. Ken Arok belum puas hanya menjadi akuwu,
dia ingin menguasai seluruh pulau Jawa maka dia harus mengalahkan Kediri. Pada
tahun 1222 datanglah beberapa pendeta dari Kediri untuk meminta perlindungan
kepada Ken Arok karena tindakan yang sewenang-wenang dari Raja Kertajaya.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Ken Arok, dia mengirimkan pasukannya
untuk menghadapi serangan dari Kediri. Para pasukan Kediri dapat dikalahkan
dengan seketika dalam pertempuran di Ganter dan pemimpin Kediri yaitu Kertajaya
gugur dalam pertempuran. Tewasnya Kertajaya mengakhiri riwayat kerajaan Kediri
dan kekuasaan diambil alih oleh Ken Arok.
Setelah itu Ken Arok
mendirikan kerajaan Singasari dan mengangkat dirinya sebagai raja pertama
dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang
Amurwabumi. Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Sinagasari menandai
munculnya suatu dinasti baru, yakni Dinasti
Rajasa. Pada masa pemerintahan Ken Arok, seluruh wilayah bekas kerajaan
kediri disatukan kembali. Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun
(1222-1227) pada tahun 1227 Ken Arok dibunuh oleh pesuruh Anusapati (anak dari Ken Dedes dan Tunggul Ametung) yang
membalaskan kematian ayahnya dan lalu merampas keris Mpu Gandring dari tangan
Ken Arok. Akhirnya Ken Arok tewas dan dimkamkan
di Kegenengan dalam bangunan Siwa-Budha.
Dengan meninggalnya Ken Arok,
tahta kerajaan Singasari jatuh ke tangan Anusapati. Dalam jangka waktu
pemerintahan yang lama (1227-1248), Anusapati tidak banyak melakukan
pembaharuan-pembaharuan karena larut dengan kesenangan menyabung ayam.
Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjoyo, putera dari Ken Arok dan Ken
Umang. Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati gemar menyabung ayam, sehingga
diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa (tempat kediaman Tohjoyo) untuk mengadakan
pesta sabung ayam. Pada saat Anusapati sedang asik menyaksikan aduan ayam,
secara tiba-tiba Tohjoyo merebut kris Mpu Gandring yang dibawanya langsung dan
langsung menusuk Anusapati. Dengan demikian meninggallah Anusapati dan
dimakamkan di Candi Kidal.
Setelah kematian Anusapati
tahta kerajaan Singasari akhirnya jatuh ke tangan Tohjoyo. Namun, Tohjoyo
memerintah hanya beberapa buan saja sebab putera dari Anusapati yang bernama Ranggawuni berusaha membalas kematian
ayahnya. Dengan bantuan Mahesa Cempaka
(anak dari Mahesa Wonggateleng dan cucu dari
Ken Arok) dan para pengikutnya, Ranggawuni berhasil menggulingkan
Tohjoyo dan kemudian menduduki singgasana Singasari pada tahun 1248 dengan
gelar Sri Jaya Wisnuwardana dan
Mahesa Cempaka diberi kedudukan sebagai ratu Angabhaya, yaitu pejabat tinggi
yang bertugas menanggulangi bahayayang mengancam kerajaan dengan gelar Narasinghamurti. Pemerintahan Ranggawuni
membawa kesejahteraan rakyat Singasari. Ranggawuni meninggal pada tahun1268,
tidak lama kemudian Mahesa Cempaka mangkat dari jabatannya. Mahesa Cempaka
mempunyai seoranga anak bernama Lebu Tal.
Lembu Tal mempunyai seorang ana bernama Wijaya yang nanatinya mendirikan kerajaan Majapahit.
Sepeninggal Ranggawuni, tahta
kerajaan jatuh ke tangan Kertanegara dengan
gelar Sri Maharajadiraja Sri Kartanegara.
Pada masa pemerintahannya, kerajaan Singasari mencapai puncak kejayaan.
Kertanegara terkenal dengan gagasannya yang ingin menyatukan seluruh
kerajaan-kerajaan di Nusantara di bawah payung kekuasaan Singasari. cita-cita
ini dikenal dengan Wawasan Nusantara I. Untuk melaksanakan cita-citanya, Kertanegara
mengganti pejabat-pejabat yang kolot dengan yang baru. Setelah Jawa
diselesaikan, kemudian Kertanegara melakukan perluasan daerah hingga keluar
Jawa dan hubungan dengan luar negeri. Pengiriman ekspedisi ke Sumatera yang
dikenal dengan ekspedisi Pamalayu 1275. Daerah-daerah yang dapat ditaklukannya
adalah kerajaan Melayu, Bali, Sunda, Pahang, Bakulapura (Kalimantan Barat
daya), Gurun (Maluku). Dengan politik perluasan daerah yang dicanangkan Raja
Kertanegara, banyak tentara yang dikirim keluar daerah. Pada kondisi tersebut
suasana kerajaan Singasari menjadi kurang penjagaan dan mengakibatkan datangnya
serangan dari Raja Jayakatwang (Kediri).
Serangan Jayakatwang dilancarkan melalui dua arah, yakni dari arah utara
sebagai pancingan dan dari arah selatan merupakan pasukan inti. Pasukan Kediri
dari arah selatan dipimpin langsung oleh Jayakatwang dan berhasil langsung
masuk istana lalu menemukan Kertanegarayang sedang berpesta pora dengan para
pembesar istana. Kertanegara dan pembesar-pembesar istanapun tewas dalam
serangan tersebut. Namun, Raden Wijaya berhasil menyelamatkan diri dan mendapatkan
perlindungan dan bantuan dari kepala desa Kudadu yang selanjutnya menyebrang
menuju Madura minta perlindungan dan bantuan kepada Aria Wiaraja (Bupati Sumenep). Berkat bantuan Aria Wiaraja, Raden
Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdikan dirinya kepada Jayakatwang. Raden
Wijaya diberi sebidang tanah yang bernama Tanah Tarik oleh Jayakatwang yang
kemudian nanti tempat berdirinya Majapahit.
Dengan gugurnya Kertanegara
maka kerajaan Singasari dikuasai oleh Jayakatwang dan menandai berakhirnya
kerajaan Singasari. Kertanegara dimakamkan sebagai Siwa-Budha (Bairawa) di
Candi Singasari.
Raja-raja
yang memerintah:
- Ken Arok
- Anusapati
- Tohjoyo
- Ranggawuni
- Kertanegara